Viral Joki Strava, Psikolog Bongkar 3 Efek Buruk Buat Mental para joki strava

Viral Joki Strava, Psikolog Bongkar 3 Efek Buruk Buat Mental para joki strava

Media sosial dihebohkan dengan kemunculan joki Strava yang ternyata banyak peminat. Pakar pun mengungkap dampak negatifnya kepada psikologi pengguna jasa ini.

Joki trava sendiri merupakan aplikasi untuk memantau capaian olahraga, misalnya lari yang bisa diunggah di media sosial. Aplikasi ini memicu FOMO atau keinginan banyak orang untuk ikut-ikutan agar tidak dianggap ketinggalan tren atau zaman.

Namun, karena niat lari atau olahraga hanya ikut-ikutan, capaian lari pun jadi tidak seberapa yang imbasnya ada perasaan malu untuk mengunggah hasil sendiri di media sosial.

‘Ceruk pasar’ inilah yang ditangkap sebagian netizen dengan membuka jasa joki strava. Mereka menjual jasa hasil olaharaga dengan berbagai tarif. Nantinya, hasil strava mereka yang sudah berkilo-kilo meter itu bisa diunggah atau di jual ke akun pembeli jasa.

“btw aku buka joki strava yahh!! tapi yang lari sodaraku yang jago dan kaut larii, price menyesuaikan pace, km dan dl yahh!! bisa dm akyuuu..,” kicau akun X @hahahiheho, 3 Juli.

Unggahan video itu pun menuai 6.800 likes, 870 ribu views, dan 390 komentar, dan ke banyak di antaranya nyinyir.

Konsultan psikolog di Tabula Arnold Lukito mengatakan joki strava sendiri sebenarnya sah-sah saja dilakukan selama cara mereka mencari uang halal dan tidak merugikan orang lain.

Masalahnya, kata dia, ada dampak psikologis yang buruk buat pengguna joki strava atau joki instan lainnya ini.

“Dampak buruknya ya terutama adalah mereka jadi terbiasa mengejar gratifikasi instan, yang tentunya bisa membawa berbagai dampak negatif,” kata Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (6/7).

Viral Joki Strava Jadi Bahan Ceritaan Dan Candaan Di Media Sosial

Dampak buruk itu, kata Arnold, antara lain:

1. Kurang disiplin dan motivasi

Kebiasaan ini bisa membuat seseorang mudah tergoda dan membuat kesenangan jangka pendek. Mereka juga jadi mengabaikan tujuan jangka panjang. Hal ini menyebabkan mereka kurang disiplin dalam menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan.

2. Tingkat kecemasan dan stres makin tinggi

Ketika seseorang terbiasa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan instan, akan lebih mudah merasa cemas dan stres ketika harus menunggu untuk sesuatu. Hal ini dapat menyebabkan mereka mudah frustrasi dan tidak sabar dalam mengadapi masalh.

3. Impulsif

Kebiasaan mengejar gratifikasi instan bisa membuat seseorang lebih mudah membuat keputusan yang impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya. Ini bisa mengakibatkan masalah keuangan, hubungan, bahkan kesehatan seseorang.

BACA JUGA :Viral Ojol Terima Order Mi Instan Berisi Sabu, Polisi Turun Tangan

Lantas apa yang harus dilakukan?
Alih-alih ikut FOMO dan mengejar sesuatu secara instan, Arnold menyarankan Anda lebih baik mulai membiasakan delaying gratification atau menunda kesenangan yang sifatnya instan.

“Sudah banyak juga penelitian yang mendukung aktifitas tersebut ada banyak manfaat delaying gratification ini. Misalnya ini berkaitan dengan aktivitas otak yang efeknya bisa berdampak pada kontrol diri dan perencanaan manusia,” kata dia.